![]() |
Gambar Ilustrasi seorang pria sederhana memanggul karung uang dengan wajah lelah, menggambarkan beratnya beban hidup rakyat kecil yang semakin terjepit oleh pajak dan kebijakan pemblokiran rekening |
Opini
Oleh: Ade Puziyanto
Senin 11 Agustus 2025
Yogyakarta (F86) - Di negeri ini, menjadi rakyat kecil rasanya seperti berjalan di lorong sempit penuh jebakan. Satu langkah salah, bahkan ketika tidak salah, tetap saja dianggap salah. Bekerja keras siang malam, mengais rezeki dengan keringat sendiri, namun selalu ada beban tambahan yang membuat napas terasa sesak.
Belum cukup sulit mencari pekerjaan layak, kini rekening tabungan pun terancam diblokir hanya karena tidak digunakan beberapa bulan. Kebijakan pemblokiran rekening pasif oleh PPATK memang dimaksudkan untuk mencegah kejahatan finansial. Tapi dalam praktiknya, rakyat kecil yang sekadar menyimpan dana darurat ikut tersapu oleh aturan pukul rata ini.
Bagaimana tidak sakit hati? Uang hasil jerih payah yang disimpan untuk kebutuhan mendesak justru tak bisa diakses saat diperlukan, hanya karena “terlalu lama tidur” di rekening. Apakah ini bentuk perlindungan, atau justru penindasan?
Lalu, soal pajak, ini cerita lama yang makin pahit. Apa pun yang rakyat kecil lakukan, selalu kena pajak.
Punya motor butut? Bayar pajak kendaraan tiap tahun.
Warisi sebidang tanah dari orang tua? Bayar Pajak Bumi dan Bangunan.
Makan di rumah makan? Kena pajak restoran.
Dapat honor atau uang transport dari pemerintahan? Potong pajak lagi.
Masih banyak lagi beban yang harus rakyat kecil menanggungnya.
Tidak ada ruang untuk sekadar bernapas lega. Pajak bukan hanya dipungut dari transaksi besar atau keuntungan perusahaan raksasa, tetapi juga dari kantong rakyat biasa yang setiap rupiahnya diperoleh dengan susah payah.
Pertanyaannya, apakah sistem ini berpihak?
Kalau semua dibebani sama rata, di mana letak keadilan? Kalau rakyat kecil harus menghadapi prosedur berbelit, sementara pelanggar besar bisa lolos dengan celah hukum, di mana keberpihakan itu?.
Ini bukan sekadar soal rekening pasif atau pajak. Ini tentang rasa percaya yang terkikis sedikit demi sedikit. Tentang perasaan bahwa negara hadir hanya untuk menagih, bukan untuk melindungi.
Kami, rakyat kecil, hanya ingin kesempatan hidup yang wajar. Menabung tanpa takut diblokir. Bekerja tanpa selalu dicurigai. Membayar pajak dengan proporsional, bukan berlapis-lapis.
Jika kebijakan keuangan dan perpajakan terus dibiarkan seperti ini, maka rakyat kecil akan semakin terjepit di tengah himpitan kebutuhan hidup dan beban aturan yang tak memberi ruang untuk tumbuh.
Sudah saatnya suara rakyat kecil bukan hanya didengar, tapi benar-benar menjadi dasar perubahan kebijakan. Karena keadilan bukan hanya untuk mereka yang punya kuasa, keadilan harusnya milik semua.(Red).
Social Footer
Kontributor
Label
Social Media