Label


Breaking News

Mengenal Semar Bodronoyo: Tokoh Punokawan Penuh Kebijaksanaan dalam Wayang Jawa

Tokoh Semar (sebelah kanan) bersama anak-anaknya: Gareng, Petruk, dan Bagong

Opini : Awiek R 

Yogyakarta (F86) – Dalam dunia pewayangan Jawa, tokoh Semar Bodronoyo memiliki tempat istimewa. Ia bukan sekadar nama, melainkan cerminan dari kebijaksanaan, ketulusan, dan peran spiritual yang mendalam. Sebagai tokoh Punokawan, Semar digambarkan sederhana, humoris, bahkan terkesan jenaka. Namun di balik penampilannya yang bersahaja, tersimpan kebijaksanaan luhur yang menjadi penuntun moral bagi manusia.

Setiap kali muncul dalam lakon wayang, Semar kerap membuka dialog dengan ungkapan:
“MREGEGEG UGEG-UGEG, HMEL-HMEL SAK DULITO LANGGENG.”

Ungkapan tersebut memiliki makna filosofis: Mbregegeg berarti diam, Ugeg-Ugeg berarti bergerak atau berusaha, Hmel-Hmel berarti makan, Sak dulito walaupun sedikit, dan Langgeng berarti abadi. Pesan moral yang terkandung adalah: daripada diam, lebih baik berusaha untuk mencari nafkah. Walau hasilnya sedikit, namun akan terasa abadi karena merupakan hasil dari jerih payah sendiri.


Dalam konteks sosial, nama Bodronoyo melambangkan sosok pemimpin yang berwibawa, pengayom masyarakat, dan penuntun kehidupan—layaknya lurah atau pamong desa. Semar bukan hanya pelindung, tetapi juga menjadi penasehat spiritual bagi para ksatria Pandawa, meneguhkan jalan kebenaran, serta memberi nasihat dalam menghadapi dilema kehidupan.

Semar juga digambarkan sebagai utusan para dewa yang diturunkan ke bumi untuk menjaga keseimbangan dan membimbing manusia menuju kesejahteraan dan keadilan. Ia meneguhkan perannya sebagai simbol akal budi manusia: rendah hati, pekerja keras, sekaligus pelindung rakyat kecil.

Berbeda dengan tokoh wayang lainnya yang banyak terinspirasi dari epos India seperti Mahabharata dan Ramayana, Semar lahir dari mitologi Jawa asli. Dalam pakem pewayangan, Semar dipercaya sebagai penjelmaan Batara Ismoyo, kakak dari Batara Guru—penguasa para dewa di kayangan Jonggring Salaka.

Dalam kisah pewayangan, perut Semar menjadi buncit karena ia menelan bulat-bulat Gunung Jamurdipa. Sayangnya, gunung tersebut tak dapat dikeluarkan kembali karena gigi Semar berbentuk taring semua, sehingga ia tidak mampu mengunyah. Hal ini menjadi salah satu simbolisme dalam bentuk fisiknya yang unik.

Kemunculan tokoh Semar pertama kali populer di era Majapahit, sebagai pemimpin Punokawan bersama anak-anaknya: Gareng, Petruk, dan Bagong. Keberadaannya memperkuat ciri khas pewayangan Jawa yang sarat filosofi lokal.

Dalam akhir kisah, Semar digambarkan muksa di Gunung Arjuna, Jawa Tengah, sebuah simbol bahwa dirinya kembali ke asalnya sebagai sosok suci yang tak lekang oleh zaman.

Semar Bodronoyo bukan sekadar tokoh wayang, melainkan sebuah refleksi nilai kehidupan. Ia mengajarkan:

  • Kesederhanaan lebih mulia daripada kesombongan.
  • Kerja keras, walau hasilnya sedikit, memberi kepuasan abadi.
  • Pemimpin sejati adalah yang mengayomi dan menuntun masyarakat.

Keberadaan Semar hingga kini tetap relevan. Nilai-nilai yang diajarkannya menjadi cermin bagi manusia modern agar tidak terjebak dalam keserakahan, melainkan mengutamakan keikhlasan, kerja keras, dan kebijaksanaan.(Awiek R).

Type and hit Enter to search

Close