![]() |
| Maestro tari multitalenta Didik Hadiprayitno (Didik Nini Thowok) |
Yogyakarta (F86) -
Maestro tari multitalenta Didik Hadiprayitno atau lebih dikenal dengan Didik Nini Thowok menilai kehadiran teknologi digital printing membawa harapan besar bagi pelestarian dan pengembangan karya seni serta budaya Indonesia. Hal itu disampaikan dalam rekaman wawancara usai menghadiri peresmian gedung baru Imperial Digital Printing Yogyakarta, baru-baru ini.
Menurutnya, digital printing mampu menjembatani kebutuhan para seniman dan budayawan dalam proses pendokumentasian, publikasi, hingga edukasi budaya kepada generasi muda.
“Sekarang, digital printing ini bisa menjadi penyelamat bagi dunia seni dan budaya kita. Karena lewat teknologi ini, karya seni bisa dicetak, diarsipkan, dan disebarkan dengan lebih mudah dan murah,” ujar Didik Nini Thowok.
Didik menjelaskan bahwa dulu para seniman menghadapi kendala besar dalam hal pencetakan karya, terutama karena sistem cetak konvensional yang membutuhkan minimal 1.000 eksemplar. Hal ini seringkali memberatkan, terutama bagi seniman independen atau pelaku seni tradisi.
Namun kini, dengan digital printing, seniman bisa mencetak karya dalam jumlah kecil, bahkan satu eksemplar sekalipun, tanpa mengorbankan kualitas.
“Dulu mau cetak buku atau arsip budaya harus banyak, ribuan eksemplar. Sekarang cukup satu, dua, atau sepuluh pun bisa. Ini sangat membantu seniman,” ujarnya.
Teknologi cetak digital memungkinkan fleksibilitas tinggi dan efisiensi biaya, sehingga mendukung seniman dalam menyebarluaskan karya atau membuat dokumentasi tanpa beban finansial besar.
Lebih lanjut, Didik menyoroti kurangnya dokumentasi seni dan budaya di Indonesia. Ia mencontohkan betapa sulitnya mencari buku yang membahas detail tentang sanggul daerah di seluruh Indonesia, padahal keberagaman budaya bangsa sangat luas dan kaya.
“Bayangkan, sampai sekarang belum ada buku lengkap tentang sanggul daerah dari Sabang sampai Merauke. Padahal kita negara dengan kekayaan budaya luar biasa,” tuturnya.
Ia menegaskan, dokumentasi dalam bentuk arsip, buku, maupun visual sangat penting sebagai bahan edukasi dan referensi bagi generasi penerus, apalagi di tengah derasnya arus modernisasi dan pengaruh budaya luar.
Dalam pernyataannya, Didik menyinggung contoh menarik dari Jepang dan Cina, yang sukses memanfaatkan media cetak untuk edukasi budaya sejak dini.
“Saya punya koleksi stock mark dari Jepang dan Cina. Di sana, benda kecil seperti itu dicetak dengan gambar tari-tarian, pakaian adat, dan kesenian daerah mereka. Jadi sejak kecil, anak-anak sudah dikenalkan budaya lewat produk sehari-hari,” ungkapnya.
Sayangnya, menurut Didik, Indonesia belum memiliki tradisi seperti itu. Bahkan ketika mencoba membuat produk serupa bertema budaya Nusantara, ia harus mencetaknya di luar negeri karena keterbatasan fasilitas lokal.
“Waktu saya coba buat stock mark tentang budaya Indonesia, justru harus dicetak di Jepang. Nah, di sinilah pentingnya industri digital printing kita berkembang,” tambahnya.
Didik Nini Thowok mengingatkan bahwa banyak karya dan keterampilan tradisional kini terancam punah karena para pengrajin dan maestro sudah menua, sementara regenerasi tidak berjalan.
“Banyak ahli kriya dan tenun yang sudah sepuh, tidak ada penerusnya. Kalau tidak segera didokumentasikan, maka ilmu dan karya mereka bisa hilang,” ujarnya prihatin.
Melalui kehadiran teknologi digital printing, Didi berharap akan muncul kesadaran baru dari berbagai pihak seniman, budayawan, akademisi, hingga pelaku usaha untuk lebih aktif mendokumentasikan dan menyebarluaskan karya budaya bangsa.
“Dengan digital printing, kita punya alat yang murah, cepat, dan fleksibel untuk menyelamatkan warisan budaya. Semoga makin banyak yang tergerak untuk menulis, mencetak, dan menjaga apa yang kita miliki,” tutup Didik Nini Thowok.(Red).


Social Footer
Kontributor
Label
Social Media