Label


Breaking News

Kebebasan Pers Dilanggar: Wartawan Dilarang Liput Aksi Penambang Sungai Progo di BBWSSO DIY

Foto Petugas BBWSSO DIY yang berlokasi di Sleman menghalangi wartawan untuk meliput aksi Penambang Progo

Oleh : Redaksi Fakta86.com

SLEMAN (F86) — Kebebasan pers kembali tercoreng. Insiden memalukan terjadi di lingkungan Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak (BBWSSO) Sleman, ketika sejumlah jurnalis dilarang masuk untuk melakukan peliputan dan konfirmasi terkait aksi unjuk rasa para penambang rakyat Sungai Progo, Rabu (16/10/2025).

Larangan tersebut bukan berasal dari aturan tertulis, melainkan dari instruksi lisan yang disebut sebagai “perintah pimpinan.” Seorang petugas keamanan di gerbang hanya menyampaikan kalimat singkat namun dingin:

“Maaf, wartawan tidak boleh masuk, ini perintah pimpinan,” ujar security di pintu masuk BBWSSO.

Padahal, para jurnalis datang dengan identitas jelas, membawa kartu pers resmi, dan menjalankan tugas konstitusional sebagaimana dijamin oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Dalam Pasal 4 ayat (3) undang-undang tersebut ditegaskan bahwa “untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan serta informasi.”

⚖️ Landasan Hukum: UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers

Pasal 18 ayat (1) menyebutkan:

“Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak **Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”

Adapun Pasal 4 ayat (2) dan (3) menegaskan:

Ayat (2): “Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.”

Ayat (3): “Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.”

Dengan demikian, tindakan melarang wartawan meliput di area publik tanpa dasar hukum yang sah termasuk pelanggaran terhadap kebebasan pers dan bisa berujung sanksi pidana.

Implikasi Hukum dan Ancaman terhadap Demokrasi

Menghalangi tugas wartawan bukan sekadar melarang seseorang bekerja. Itu berarti menghalangi hak publik untuk tahu.

Jika tindakan semacam ini dibiarkan, akan muncul preseden buruk bagi kemerdekaan pers di Indonesia.

Tindakan seperti:

Melarang wartawan meliput tanpa dasar hukum. Merampas alat kerja jurnalis, menghapus hasil liputan, Atau mengintimidasi wartawan agar tidak meliput.

semuanya termasuk pelanggaran terhadap UU Pers dan bisa dikenai pidana maksimal dua tahun penjara atau denda hingga Rp500 juta.

Salah satu jurnalis yang berada di lokasi menyampaikan kekecewaannya.

“Kami datang dengan niat baik, membawa identitas resmi, dan hanya ingin menjalankan tugas. Tapi akses ke dalam ditutup. Ini jelas bentuk pembatasan kerja pers,” ujarnya dengan nada kecewa.

Aksi unjuk rasa para penambang rakyat di halaman BBWSSO seharusnya menjadi momen transparansi publik, tempat negara hadir dan masyarakat bisa menilai bagaimana kebijakan perizinan tambang rakyat dijalankan.

Namun, yang terjadi justru represi halus terhadap kerja jurnalistik sebuah praktik yang seharusnya tidak terjadi di era demokrasi.

“Menutup akses informasi bagi jurnalis sama saja dengan membungkam suara rakyat,”ujar salah satu aktivis pers.

Jika lembaga pemerintah mulai menormalisasi tindakan melarang wartawan meliput, maka yang terancam bukan hanya profesi jurnalis, melainkan demokrasi itu sendiri.

Pers adalah mata dan telinga rakyat. Menutup mata pers berarti membutakan publik terhadap kenyataan.

Sudah saatnya publik dan komunitas pers bersatu mengecam tindakan anti-transparansi semacam ini.

Karena di balik pagar yang tertutup bagi wartawan, ada aroma ketertutupan yang menguarkan tanda tanya besar: Ada apa dengan BBWSSO?.(Red).



Type and hit Enter to search

Close