Tradisi Jenang Suran memiliki makna mendalam bagi masyarakat Jawa. Menurut beberapa sumber, tradisi ini dilakukan untuk memperingati peristiwa selamatnya Nabi Nuh dan pengikutnya dari bencana banjir besar. Selain itu, ada juga makna lain yang berkaitan dengan kisah Nabi Muhammad SAW dan putrinya Fatimah. Tradisi ini menjadi simbol keberkahan dan kebersamaan bagi masyarakat yang melaksanakannya.
Salah satu Panitia mengatakan bahwa kegiatan tersebut sudah dilakukan yang ke 8 kali, setiap tanggal 10 Muharram di Kelurahan Pringgokusuman, Kemantren Gedongtengen. Digelar nya acara tersebut dalam agenda kebudayaan, dimana dana keistimewaan yang telah mendukung kegiatan tersebut.
"Acara Jenang Suran ini melibatkan masyarakat se Kelurahan Pringgokusuman, Kemantren Gedongtengen. Nanti yang diarak adalah Jenang Suran itu sendiri dan ada upacara penyerahan Tirtonandi yaitu air dari candi yang merupakan peninggalan sejarah,"jelasnya.
Kirab budaya Jenang Suran diikuti oleh warga dari 7 kampung di wilayah Kelurahan Pringgokusuman. Mereka membawa jodang yang di panggul 4 orang, berisi kwali besar berisikan jenang. Sajian jenang ini terdiri dari berbagai hidangan khas Jawa, seperti jenang, telur pindang, abon, kacang, tempe, kedelai hitam, dan sambel goreng krecek. Prosesi ini berakhir di Ndalem Notoyudan, di mana jenang suran didoakan sebelum dibagikan kepada warga setempat.
Kelurahan Pringgokusuman memiliki dua tempat pemandian bersejarah yang dibangun oleh Sri Sultan HB VII, yaitu Candi Donotirto dan Candi Wadon. Kedua tempat pemandian ini memiliki sumber mata air dari Kali Larangan, yang airnya juga berasal dari Kali Winongo dan Kali Buntung.
Tradisi Jenang Suran menjadi simbol keberkahan dan kebersamaan bagi masyarakat Yogyakarta. Melalui tradisi ini, masyarakat dapat mempererat hubungan sosial dan meningkatkan kesadaran akan pentingnya gotong royong dan kebersamaan. Dengan demikian, Tradisi Jenang Suran menjadi salah satu warisan budaya yang patut dilestarikan.(Awiek R).
Social Footer
Kontributor
Label
Social Media